Suatu hari, Rani (45 tahun) – bukan nama sebenarnya, merasa kaget sekali ketika akan mengurus proses balik nama kliennya yang baru saja melangsungkan pembuatan akta jual beli di hadapannya selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena, pembeli diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan sebesar 5% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berjumlah Rp. 58.000.000,– (limapuluh delapan juta rupiah). Padahal, yang berlaku selama ini untuk nilai transaksi atau NJOP di bawah Rp. 60.000.000,– (enampuluh juta rupiah) tidak dikenakan pajak penghasilan alias bebas Pph. Pihak PPAT tinggal menghitung dan membantu membayarkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) nya saja kemudian melaksanakan transaksi jual beli dan mendaftarkan peralihan haknya pada Kantor Pertanahan setempat.
Klien Rani, sebut saja pak Arief, yang merasa tidak pernah mendapat penjelasan sebelumnya mengajukan protes, karena selama ini mengenai pajak tersebut tidak pernah menjadi bahan negosiasi antara penjual dan pembeli. Sehingga mereka tidak memperhitungkan akan adanya biaya pajak yang jumlahnya bagi mereka cukup signifikan. Karena dalam proses transaksi tersebut, riel transaksi atas tanah dan bangunan dimaksud hanyalah bernilai Rp. 27.000.000,– (duapuluh tujuh juta rupiah). Sedangkan perhitungan Pajak Penghasilan tersebut harus dilakukan dari nilai transaksi yang tertinggi. Karena NJOP sebesar Rp. 58.000.000,– maka yang dijadikan sebagai dasar perhitungan bukan dari nilai riel yang diterima oleh penjual, melainkan dari NJOP tersebut.
Apakah dimungkinkan untuk mengajukan bebas pajak?pajak
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak No. 30/PJ/2009, tentang “Tata Cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Atas tanah dan Bangunan”, yang diterbitkan pada tanggal 27 April 2009, ada beberapa ketentuan agar pak Arief tersebut dibebaskan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan.
Agar bebas dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan atas transaksi dimaksud, Pak Arief harus mengajukan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB Pph). Untuk mendapatkan SKB Pph dimaksud, pak Arief harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Direktur Jendral Pajak No. 30/PJ/2009 tersebut di atas, yaitu:
1. orang Pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp. 60.000.000,– dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
PTKP di tiap-tiap daerah berbeda-beda. Sebagai contoh, untuk wilayah Jabodetabek PTKP seorang wajib pajak pribadi adalah sebesar Rp. 1.300.000,– (satu juta tiga ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, jika penghasilan orang yang bersangkutan di atas Rp. 1.300.000,– maka dia tetap diwajibkan untuk membayar pajak.
Awas… satu hal yang perlu diperhatikan adalah: dalam prakteknya apabila seseorang penjual memiliki penghasilan di bawah PTKP, namun dia memiliki NPWP, maka permohonan SKB ini biasanya tidak dikabulkan (ditolak).
2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Contohnya begini: misalnya tanah seseorang digusur untuk dijadikan sebagai waduk. Nilai ganti rugi atas penggusuran tersebut misalnya Rp. 50.000.000,–. Yang bersangkutan berhak untuk minta pembebasan dari kewajiban membayar Pph. Karena disamping nilai yang diperoleh di bawah Rp. 60.000.000,–, tanah tersebut juga digunakan untuk kepentingan umum.
3. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Khusus untuk hibah tersebut, sebelum Peraturan ini diundangkan, di beberapa Kantor Pajak memberlakukan bahwa untuk pemberi hibah dapat langsung dinyatakan bebas pajak, jadi tinggal membayar pajak Penerima Hibah (BPHTB atas hibah tanah/bangunan), yang besarnya 50% dari BPHTB yang biasanya dibayar dalam akta jual beli atau hibah yang bukan termasuk pengecualian di atas. Namun, sekarang untuk bisa membayar BPHTB atas hibah tersebut, pemberi dan penerima hibah harus mengurus:
a. Surat keterangan bebas Pph (sesuai Peraturan Direktur Jendral Pajak No. 30/PJ/2009 tersebut di atas
b. Surat Keterangan Pengurangan BPTHB.
Hal ini sesuai Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER-29/PJ/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak No. 16/PJ/2005 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang di terbitkan pada tanggal 27 April 2009.
4. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi atau oran gpribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau pengusaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
5. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
Untuk pengalihan karena warisan, tentu saja pewaris yang sudah meninggal dunia bebas dari kewajiban pajak ya…. J Namun untuk ahli waris selaku penerima warisan berupa tanah dan bangunan, diwajibkan untuk membayar pajak setelah dikurangi dengan Nilai Tidak Kena Pajak yang mana di masing-masing daerah yang satu dan yang lain tentunya berbeda.
Contohnya: untuk Jakarta, NTKP nya adalah Rp. 300jt.
Sehingga, kalau tanah warisan tersebut NJOPnya Rp. 325jt, maka yang dikenakan pajak atas warisan hanyalah selisihnya saja, yaitu Rp. 25jt. Jadi pajaknya adalah:
(Rp. 25jt X 5% ) X 50% = Rp. 625.000,–
Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pph atas pengalihan tanah dan bangunan adalah: pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak. Khusus untuk kelompok ini, bebas pajak dapat langsung diberikan tanpa melalui penerbitan SKB Pph.
(bersambung ke: “Bagaimana Cara Pengurusan SKB Pph dan/atau Pengurangan BPHTB?